NASIKH DAN MANSUKH
Selasa, 03 Desember 2013
1
komentar
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan mempelajari Nasikh-Mansukh di harapkan para Mahasiswa agar lebih mengerti tentang pengertian Nasikh-Mansukh yang berarti nasikh adalah menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang kemudian, sedangkan mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan oleh hukum.
Menurut akal bisa dipahami bahwa setiap umat itu memiliki kepentingan yang berbeda antara waktu yang satu dengan waktu yang lain, antara satu situasi dengan situasi yang lain. Sehingga terkadang pada suatu waktu dan situasi tertentu, karena adanya kepentingan tertentu ditetapkan adanya aturan hukum tertentu, akan tetapi pada situasi yang lain, karena adanya perubahan situasi dan kepentingan, maka ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu dirubahnya, disesuaikan dengan situasi dan kepentingan itu.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh ?
2. Syarat-syarat Nasikh Mansukh ?
3. Jenis Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an ?
4. Cara-cara Mengetahui Nasikh ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pengertian Nasikh dan Mansukh.
2. Mengetahui Syarat-syarat Nasikh Mansukh
3. Mengetahui Jenis Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an
4. Cara-cara Mengetahui Nasikh
D. Batasan Masalah
Dalam makalah ini, kami membatasi pembahasan hanya mengenai pembahasan nasikh mansukh. Dengan demikian kami berharap pembahasan kami terfokus pada tema tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu antara lain penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah, dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan disebut mansukh.[1]
Atau lebih jelasnya nasikh adalah menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang kemudian, sedangkan mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan oleh hukum yang datang kemudian itu.[2] Sebagaimana yang bisa kita lihat dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 106:[3]
Artinya : ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Al Baqoroh : 106)
Kemugkinan Adanya Nasikh dan Mansukh[4]. Baik ditinjau dari segi akal maupun riwayat, maka perihal nasikh mansukh itu bisa saja terjadi. Hal ini sudah disepakati para ulama, kecuali nasikh mansukh di dalam Al-Qur’an ataupun Al-Qur’an dengan Al-hadis para ulama masih berbeda pendapat.
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya nasikh mansukh dan dalil-dalil nash. Pada umumnya mereka sepakat bahwa al-hadis bisa dinasakh oleh al-hadis atau oleh Al-Qur’an.
Menurut rasio manusia bisa dipahami bahwa setiap umat itu memiliki kepentingan yang berbeda antara waktu yang satu dengan waktu yang lain, antara satu situasi dengan situasi yang lain. Sehingga terkadang pada suatu waktu dan situasi tertentu, karena adanya kepentingan tertentu ditetapkan adanya aturan hukum tertentu, akan tetapi pada situasi yang lain, karena adanya perubahan situasi dan kepentingan, maka ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu dirubahnya, disesuaikan dengan situasi dan kepentingan itu.
Misalnya perihal ketentuan kiblat shalat, semula Nabi SAW shalat menghadap ke Baitul Maqdis kemudian dinasakh dengan menghadap ke Masjidil Haram.
“Sesungguhnya Nabi SAW menghadapkan wajahnya pada waktu sholat ke Masjidil Aqsha selama enam belas bulan kemudian menggantinya ke Ka’bah”.
Jadi secara riwayat ternyata ketentuan nasikh mansukh itu pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.
2. Syarat-syarat Nasikh Mansukh
Syarat bisa terjadinya nasikh mansukh adalah:[5]
a. Dalil nasikh harus terpisah dengan dalil mansukhnya.
b. Dalil nasikh harus lebih kuat atau sama kuat daripada dalil yang mansukh. Jadi dalil Al-Qur’an hanya bisa dimansukh oleh dalil Al-Qur’an atau dalil hadis mutawatir, karena kedudukan dalil Al-Qur’an dan hadis mutawwatir adalah sama-sama qath’i.
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’. Kalau nasikhnya tidak berupa dalil syara’ seperti mati, maka tidak disebut dengan nasakh. Tidak adanya hukum bagi orang yang sudah mati sudah bisa dipahami dengan akal tanpa petunjuk syara’.
d. Yang dimansukh harus hukum syara’, sedangkan nasikhnya juga harus berupa dalil-dalil syara’.
e. Ketentuan hukum yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu, sebab bila dibatasi oleh waktu maka berarti dengan habisnya ketentuan waktu otomatis habis pula ketentuan hukumnya.
Di samping itu masih ada syarat-syarat nasakh yang belum disepakati yakni:
a. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.
b. Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dinasakh (mansukh).
c. Hukum pengganti lebih berat daripada hukum yang diganti.
Mengenai nasikh mansukh dalam Al-Qur’an, para ulama masih ada yang berbeda pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an, artinya ada ayat atau ketentuan hukum dalam Al-Qur’an yang dihapuskan. Alasannya adalah berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an:
Artinya : Apa-apa yang Kami hapuskan dari sesuatu ayat atau Kami lupakan, maka Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sepertinya. (QS. Al-Baqarah 106).
Golongan kedua menyatakan tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Salah satu alasannya adalah tidak ada hikmahnya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an itu, kecuali justru menambah keraguan akan kebenaran Al-Qur’an.[6]
3. Jenis Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an[7]
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Umpamanya ayat tentang perang (qital) pada surat Al-Anfal ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :
Artinya : Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (Q.S. Al-Anfal 65)
Ayat ini menurut jumhur ulama dihapus oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
Artinya : sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal 66)
2. Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian, menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati terdapat ayat-ayat berikut:
Artinya : diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah 180).
Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadits la washiyyah li warits (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3. Nasikh kully,yaitu penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya : orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah 234)
Dan dihapus oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada surat Al-Baqarah ayat 240 :
Artinya : dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-baqarah 240)
4. Nasikh juz’iy,yaitu penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau penghapusan hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4:
Artinya : dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur 4)
Dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh dalam surat yang sama ayat 6:
Artinya : dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur 6)
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam, yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang tergolong kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya, sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadits ‘Aisyah r.a. yang mengatakan:
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh radha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh dengan lima (isapan menyusu) yang diketahui. Kemudian Rasulullah wafat”.
Maksudnya, mula-mula ditetapkan dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian dirubah menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termaktub di dalam mushaf karena baik bacaanya maupun hukumnya telah di-nasikh.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaanya tetap ada. Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin pada umat Islam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat berikut:
Artinya : untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Al-Kafirun 6)
3. Penghapusan terhadap bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku, berbunyi:
“Jika seseorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah kedua . . . .”
Cerita tentang ayat orang tua berzina tersebut, diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’b. Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang berbeda mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
“Seorang pria tua dan seorag wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina)”.
Adapun dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:
1. Nasikh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Terhadap nasikh seperti ini, para ulama sepakat akan kebolehannya.
2. Nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunah. Bagi kalangan ulama Hanafiyyah, nasikh semacam ini diperkenankan bila sunah yang menghapusnya berkedudukan mutawatir atau mashyur. Akan tetapi, ketentuan itu tidak berlaku apabila sunah yang menghapusnya berupa sunah ahad. Bila kedua jenis sunah di atas berstatus qhath’i tsubut, sebagaimana Al-Qur’an, maka hal itu berbeda dengan sunah ahad yang bersifat zhanny tsubut.
Keputusan kalangan Hanafiyah di atas mendapat bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama ushul fiqih. Menurut mereka, apapun jenis sunah yang akan menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an, hal itu tetaplah tidak diperkenankan. Asy-Syafi’i mengajukan analisisnya sebagai berikut, “sunah tidak sederajat dengan Al-Qur’an. Padahal nasikh yang dijanjikan Tuhan dalam surat Al-Baqarah ayat 106 adalah yang sepadan derajatnya atau lebih tinggi. Dalam surat yunus ayat 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak untuk mengubah Al-qur’an atas kemauannya.surat An-nahl ayat 44 menyatakan bahwa misi Muhammad adalah penjelas terhadap al-Qur’an, sehingga setelah mereka memperoleh penjelasan darinya, umatnya dapat mengamalkan al-Qur’an. Bila Muhammad berhak menghapus ketentuan Al-Qur’an, nantinya yang diamalkan umat bukan lagi Al-Qur’an, tetapi As-Sunah. Ini berarti bertentangan dengan kandungan surat An-Nahl ayat 44. Dengan demikian menghindari nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunah dapat menjauhi celaan atas diri Muhammad”.
3. Nasikh As-Sunah dengan Al-Qur’an. Menurut mayoritas ahli ushul, nasikh semacam ini benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat ke bait Al-Muqaddas menjadi ke Ka’bah. Akan tetapi, lagi-lagi Asy-Syafi’i menolak penghapusan semacam ini. Menurutnya jika Muhammad menetapkan suatu ketentuan, kemudian turun ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang sesuai dengan Al-qur’an. Jika tidak demikian akan terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunah yang menjadi bayan Al-Qur’an sudah dihapus.
4. Nasikh As-Sunah dengan as-Sunah. Bagi Al-Qaththari pada dasarnya ketentuan nasikh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.
4. Cara-cara Mengetahui Nasikh[8]
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ada beberapa cara bisa dilakukan, diantaranya :
a. Penjelasan, dari nash Al-Qur’an dengan ayat yang menunjukkan adanya pen-nask-an, seperti Q.S. Al-Mujadilah ayat13
÷Läêø)xÿô©r&uä br& (#qãBÏds)è? tû÷üt/ ôyt óOä31uqøgwU ;M»s%y|¹ 4 øÎ*sù óOs9 (#qè=yèøÿs? z>$s?ur ª!$# öNä3øn=tæ (#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur 4 ª!$#ur 7Î7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÌÈ
Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah 13)
Ayat di atas me-nasikh perintah bersedekah sebelum berbicara kepada Nabi Saw. yang terdapat pada ayat sebelumnya.
b. Penjelasan dari Nabi Saw. mengenai pe-nask-an.
c. Perbuatan Nabi Saw. seperti perajamanyang dilakukannya kepada sahabat Ma’iz dan tidak menderanya
d. Kesepakatan (ijma’) para sahabat bahwa ayat ini nasikh dan dalil itu mansukh
e. Penukilan yang dilakukan oleh seorang rawi dari sahabat bahwa salah satu dari dua hukum tentang sebuah permasalahan lebih didahulukan dari pada hukum yang lainnya, karena tidak memiliki peluang untuk melakukan ijtihad dalam masalah tersebut.
f. Keberadaan salah satu hukum dari dua buah hukum merupakan hukum syariat, sedangkan hukum yang lainnya lebih mirip atau cocok dengan adat pada zaman dahulu. Maka hukum syariat men-nasikh-kan adat tersebut
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
nasikh adalah menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang kemudian, sedangkan mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan oleh hukum yang datang kemudian itu. Sebagaimana yang bisa kita lihat dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 106:
Artinya : ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Al Baqoroh : 106)
Syarat –syarat nasikh mansukh:
a. Dalil nasikh harus terpisah dengan dalil mansukhnya.
b. Dalil nasikh harus lebih kuat atau sama kuat daripada dalil yang mansukh. Jadi dalil Al-Qur’an hanya bisa dimansukh oleh dalil Al-Qur’an atau dalil hadis mutawatir, karena kedudukan dalil Al-Qur’an dan hadis mutawwatir adalah sama-sama qath’i.
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.
d. Yang dimansukh harus hukum syara’, sedangkan nasikhnya juga harus berupa dalil-dalil syara’.
e. Ketentuan hukum yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu, sebab bila dibatasi oleh waktu maka berarti dengan habisnya ketentuan waktu otomatis habis pula ketentuan hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
AMIRUDDIN, ZEN.2009. “Ushul Fiqih”. Yogyakarta: Teras
ANWAR, ROSIBON.2008. “Ulumul Qur’an”. Bandung: .
FORUM KARYA ILMIAH PURNA SISWA 2011.2011.”Al-Qur’an Kita”.Kediri: Lirboyo Press
HAMID ABU ZAID, NASR.2005. “Tekstualitas Al-Qur’an”. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara
USMAN.2009.”Ulumul Qur’an”.Yogyakarta: Teras
WIJAYA, AKSIN.2009. “Arah Baru Study Ulumul qur’an”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1] Rosibon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung, hlm. 172
[2] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta, hlm. 161
[3] Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta, hlm. 255
[4] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta, hlm. 162
[5] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta, hlm. 163
[6] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih,yogyakarta, hlm. 164
[7] Rosibon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung, hlm. 180
[8] Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Al-Quran Kita, Kediri, hlm. 180
1 komentar:
pemimpin islam telah datang .. www.pemimpin-islam.blogspot.com
Posting Komentar