MAQAM WARA’, ZUHUD, DAN FAQR
Selasa, 03 Desember 2013
0
komentar
MAKALAH
MAQAM WARA’, ZUHUD, DAN FAQR
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu:
Ahmad Sauqi, M.Ag, M.Pd.I
Disusun Oleh:
Arwani Ilyas (2832133006)
Fatimatuz Zahro (2832133011)
USHULUDDIN / AQIDAH FILSAFAT
SEMESTER I
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG 2013
KATA PENGANTAR
Alkhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Maqam Wara’, Zuhud, dan Faqr” sebagai tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW , beserta keluarga , sahabat , kerabat , dan pengikut-pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dalam makalah ini, kami menguraikan tentang pengertian dan pengklasifikasian maqam tersebut. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang selama ini kita cari. Berbagai cara kami kemas dalam makalah ini, dan juga kami berharap bisa dimafaatkan semaksimal mugkin.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ibu dosen serta pihak lain yang telah membantu sehingga terselesaikannya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua. Amin
Tak ada kebenaran mutlak dalam hidup ini melainkan hanya sang pencipta semata, demikian pula dengan makalah ini tentu masih banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Tulungagung, 01 November 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, buakan melalui dalil. Para sufi mengatakan hal itu sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Apalagipengalaman tasawuf ini juga merupakan karunia dari Tuhan setelah seseorang menempuh penyucian rohani itu melalui latihan fisik-psikis yang berat.
Tasawuf juga mempunyai maqam. Maqamat dalam bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya, arti ini dipakai untuk arti jalan panjang secara berjenjang yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Sebenarnya ada banyak maqamat tasawuf, namun kali ini kami akan memaparkan mengenai Wara’, Zuhud, dan Faqr.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian wara’?
2. Bagaimana pengklasifikasian maqam wara’?
3. Apa pengertian zuhud?
4. Bagaimana tingkatan dalam zuhud?
5. Apa pengertian faqr?
6. Bagaimana pengklasifikasian maqam faqr?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penertian wara’
2. Untuk mengetahui klasifikasi maqam wara’
3. Untuk mengetahui pengertian zuhud
4. Untuk mengetahui klasifikasi maqam zuhud
5. Untuk mengetahui pengertian faqr
6. Untuk mengetahui klasifikasi maqam faqr
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wara’
1. Pengertian Wara’
Secara literal (bahasa) wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa serta menahnnya dari hal-hal syubhat (tidak jelashalal haramnya) dan maksiat. Sedang menurut terminologi, wara’ adalah menjauhi perkara syubhat.[1]
Wara’ adalah maqam yang sangat mulia dan luhur. Seacara tidak langsung makna wara’ telah tersirat dalam Al-Qur’an. Diantaranya terdapat dalam surat An-Nur ayat 15:
øÎ) ¼çmtRöq¤)n=s? ö/ä3ÏGoYÅ¡ø9r'Î/ tbqä9qà)s?ur /ä3Ïd#uqøùr'Î/ $¨B }§øs9 Nä3s9 ¾ÏmÎ/ Ò
Où=Ïæ ¼çmtRqç7|¡øtrBur $YYÍhyd uqèdur yYÏã «!$# ×LìÏàtã ÇÊÎÈ
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut dan kamu katakana dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”
Bahkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh dahabat Anas, Nabi mencontohkan sendiri bagaimana perilaku orang yang wira’i:
وعن أنس رضي الله عنه : أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم وَجَدَ تَمرَةً
فِي الطَّرِيقِ، فقال : لَولاَ أنيِّ أخَافُ أن تَكُونَ مِنَ الصَّدَقَة لأكلتُهَا
(متفقٌ عليه).
“Nabi menemukan kurma di jalan. Kemudian, beliau berkata, “Andai saja aku tidak khawatir bahwa kurama ini merupakan bagian dari zakat, pasti aku akan menemukannya.” (H.R. Bukhariy, Muslim)
Wara’ merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga kesucian jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara syubhat apalagi sampai perkara yang bersifat haram. Sehingga ketika seorang salik memang benar-benar berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi larangan Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan benteng sifat wara’, niscaya sifat yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian yang luhur yang mendarah daging. Sampai anggota tubuhnya pun akan bisa menjadi benteng yang tangguh bagi dirinya untuk menjaga jernih, segala ucapan, tingkah laku, ide dan kreativitasnya mengandung hikmah dan manfaat untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.
Semuanya bisa terbukti dari berbagai riwayat yang diambil dari kaum sufi. Sebagai contoh Syekh Bisyr Al-Hafiy ketika beliau diundang dalam jamuan makan. Saat beliau diberi hidangan tersebut namun tidak pernah berhasil. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai tiga kali. Lalu berkatalah seorang laki-laki yang mengenalnya, “Tangannya tidak akan bisa diulurkan untuk mengambil makanan yang haram atau syubhat. Sehingga, percuma saja tuan rumah ini mengundang beliau ke rumahnya.”[2]
2. Klasifikasi Wara’
Menurut Imam As-Sarraj, ahli wara’ diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan:[3]
a. Golongan yang memiliki sifat wara’ dalam menjauhi perkara syubhat, yaitu sifat diantara halal dan haram yang sudah bersifat mutlak kejelasannya. Artinya, apapun yang dikonsumsi seorang hamba hanyalah perkara yang sudah jelas kehalalannya dan tidak menyentuh sama sekali perkara yang haram murni. Tingkatan ini sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Sirin, “Tak ada sesuatu yang lebih mudah bagiku kecuali tingkatan wara’ ini ketika ada sesuatu yang meragukanku.”
b. Wara’nya Arbab Al-qulub (golongan yang memiliki hati yang bersih) dan mutahakqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat), yaitu menjauhi segala hal yang bersumber dari hati yang berpotensi membuat hati menjadi gelisah dan bergejolak ketika mengambil perkara yang syubhat. Artinya, bukan hanya berhubungan tentang kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang memang sudah diketahui kejelasan sifat halalnya, tapi sesuatu tersebut bisa menimbulkan keraguan dalam hati, maka perkara yang halal pun harus dia jauhi. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Dosa adalah segala seusatu yang mengganjal dalam hatimu.”
c. Wara’nya ‘Arifiin (ahli makrifat) dan Wajidiin (golongan yang mencintai dan meraskan menemukan Allah). Ini diungkapkan Abu Sulaiman Addarani, “Segala hal yang bisa memalingkan dari Allah merupakan kejelekan dan kesialan bagimu.” Kedudukan ini mengindikasikan bahwa segala macam apapun, meskipun perkara yang halal murni, bila memiliki potensi untuk bisa memalingkan dari Allah, tetap harus dijauhi.
Dari tiga tingkatan yang telah dipaparkan di atas, kedudukan merupakan wara’ yang umum. Yang kedua, orang yang khusus. Sedang yang ketiga adalah khusus al-khusus (istimewa).
B. Zuhud
1. Pengertian Zuhud
Zuhud secara literal adalah meninggalkan , tidak tertarik, dan tidak menyukai sesuatu. Sedang menurut terminologi sufi, zuhud adalah kemampuan hati menahan keinginan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki.[4]
Menurut Al-Junaid Al-Baghdadi, “Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa dan hati kosong dari cita-cita”.[5]Al-Ghazaliy membahasakan zuhud sebagai ungkapan atas ketidaksukaan pada segala hal yang termasuk dalam bagian nafsu. Ketika seseorang membenci segala hal yang diinginkan nafsu, ia juga akan membenci hidup kekal di dunia dan secara otomatis ia pun tidak akan memiliki sifat panjang angan-angan pada dunia ini. Hal ini disebabkan kehidupan kekal di dunia yang diinginkan oleh nafsu tujuannya hanyalah untuk bersenang-senang atas dunia tersebut. Sehingga, ketika ia telah membenci dunia, maka ia tidak akan menginginkannya.[6]
Zuhud disebut dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat. Diantaranya Q.S. Al-Hadid:20
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
“Ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian, menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Zuhud yang bersumber dari Rasulullah yang diajarkan dan dicontohkan oleh beliau secara langsung kemudian diikuti oleh para sahabat sudah menjadi karakter dan sifat yang melekat dalam hati serta sudah mendarah daging sehingga sangat sulit diadopsi umat islam yang hidup setelah masa sahabat. Sampai-sampai sahabat pernah mengungkapkan pernyataan pada golongan awal tabi’in, “Bahwa memang benar jika para tabi’in lebih banyak amal dan kesungguhannya dalam beribadah dibanding para sahabat, tapi dengan sifat zuhud yang dimiliki para sahabat, menjadikan mereka tetap lebih baik daripada para tabi’in.
Yang dikehendaki dari hakikat zuhud adalah tidak memiliki ketergantungan atau keterikatan hati dengan harta dunia. Bukan diartikan dengan tidak memiliki harta sama sekali. Sebagaimana kepribadian Nabi Sulaiman. Kekayaan dan kemegahan kerajaan yang dimilikinya tidak sampai mengeluarkannya dari sifat zuhud, bahkan Nabi Sulaiman mendapatkan status Azahad Az-Zahidin (orang yang paling zuhud diantara golongan ahli zuhud).
2. Tingkatan Zuhud
Sebagaimana maqam-maqam sebelumnya, zuhud juga memiliki tingakatan. Menurut imam Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy zuhud terbagi menjadi 3 tingkatan:[7]
a. Al-Mubtadiin (tingkat pemula), yaitu orang yang kosong tangan dan hatinya dari harta kepemilikan.
b. Al-Mutahaqqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat pada Allah).
c. Golongan yang mengetahui dan meyakini bahwa jikalau dunia diberikan pada mereka dengan status kepemilikan yang halal, dijanjikan pula ketiadaan hisab di akhirat atas status kepemilikan tersebut.
Selanjutnya orang yang zuhud memiliki beberapa tanda. Imam Al-Ghazaliy memberi 3 tanda atas sifat zuhud ditinjau dari sisi batin.[8]
a. Tidak merasa bahagia dengan wujudnya harta dan tidak merasa susah atas ketiadaan harta tersebut.
b. Tidak ada beda baginya antara orang yang mencela dan memuji.
c. Hatinya merasa tenang hanya jika tertuju kepada Allah dan yang mendominasi dalam hatinya adalah manisnya taat.
Karakter dasar manusia secara umum adalah memiliki rasa cinta. Cinta yang tertanam dalam hati ada kalanya cinta kepada Allah dan cinta pada dunia, yaitu semua hal yang berpotensi bisa memalingkan hati jauh dari-Nya. Dengan demikian, untuk menuntaskan sifat zuhud, seseorang harusdikuasai rasa cinta pada Allah supaya tidak ada ruang lagi dalam hatinya untuk cinta dunia. Maka ketika seseorang sudah memiliki rasa cinta dan merasa tenang atas zatnya Allah, ia akan selalu tersibukkan dengan-Nya dan meninggalkan yang lain (dunia).
C. Faqr
1. Pengertian Faqr
Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Sedang menurut terminologi tasawuf, fakir adalah suatu keadaan dimana hati tidak butuh kecuali kepada Allah.[9]
Makna fakir dalam Al-Qur’an tersirat dalam beberapa firman Allah, diantaranya surat Al-Fathir:15
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ÞOçFRr& âä!#ts)àÿø9$# n<Î) «!$# ( ª!$#ur uqèd ÓÍ_tóø9$# ßÏJysø9$# ÇÊÎÈ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah. Dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada hidup bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan kehidupan mewah sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadis yang menjelaskan keutamaan faqr adalah hadis yang merupakan doa Rasulullah ini:
عن أبي سعيد: اللهمّ أحيني مسكينا وتوفّني مسكينا واحشرني في زمرت المساكين. وإنّ أشقى ألأشقياء من اجتمع عليه فقرالدنيا وعذاب الآخرة
. (رواه حاكم)
“Ya Allah, berilah aku hidup dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan miskin. Dan kumpulkanlah aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya orang yang celaka adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.” (H.R. Al-Hakim)
Mayoritas para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah dan keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua makhluk yang ada pada fuqara (orang-orang yang fakir). Sampai-sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup dan tidak mengusai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi umatnya dalam sifat fakir.
2. Klasifikasi Faqr
Selanjutnya menurut Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy derajat fuqara diklasifikasikan menjadi 3:[10]
a. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara lahir batin memang tidak meminta dan menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi, ia tidak mau mengambil. Strata ini adalah maqam muqarrabin.
b. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, tidak meminta, menginginkan, atau memohon pada siapapun. Ketika diberi tanpa meminta, ia menerima. Ini adalah maqam Al-siddiqin.
c. Golongan yang tidak memiliki sesuatu dan ketika membutuhkan ia mengutarakan keinginannya pada sebagian saudaranya yang ia ketahui bahwa saudaranya akan senang dengan ungkapan pengaduannya tersebut. Maka, sesungguhnya memecahkan permasalahannya merupakan nilai shadaqah.
BAB III
KESIMPULAN
Perjalana spiritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifat tersebut kadang-kadang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Sebagian orang yang menekuni dunia kema’rifatan ia meninggalkan hal yang diragukan halalnya karena khawatir terjerumus kedalam dosa. Ia meninggalkan hal yang bersifat subhat karena khawatir terjerumus kedalam maksiat. Itulah sifat wara’, penghati-hati, sifat yang positif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan dosa terhadap hal yang diragukan halal-haramnya.
Sebagian gejala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap dunia, tidak terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang mengganggu ibadahnya ia singkiri, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan berarti “nyingkor kadonyan”, menjauhi dunia, hidup menderita. Bukan! Zuhud berarti “hidup prihatin” mengabdi Tuhan. Pola cara hidupnya sederhana, demi Ar-Rahman.
Gejala orang yang ma’rifat juga termasuk faqr,. Tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
HAG. Tamami, 2011, Psikologi Tasawuf, Bandung: PUSTAKA SETIA
Seils, A. Michael, 2004, Terbakar Cinta Tuhan, Bandung: Mizan
Siswa, Purna, 2011, Jejak Sufi, Kediri: Lirboyo Press
Smith, Margaret, 2001,Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, Surabaya: Risalah Gusti
[1]Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), h. 68
[2]Ibid, h. 69
[3]Ibid, h. 70
[4]Michael A. Seils, Terbakar Cinta Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), h. 266
[5]Tamami HAG., Psikologi Tasawuf,(Bandung:Pustaka Setia,2011) h. 172
[6] Purna Siswa, Jejak Tasawuf…, hlm. 71
[7]Michael A. Seils, Terbakar…, hlm. 266
[8]Purna Siswa, Jejak…, hlm. 75
[9]Ibid, hlm. 76
[10]Ibid, hlm. 77
MAQAM WARA’, ZUHUD, DAN FAQR
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu:
Ahmad Sauqi, M.Ag, M.Pd.I
Disusun Oleh:
Arwani Ilyas (2832133006)
Fatimatuz Zahro (2832133011)
USHULUDDIN / AQIDAH FILSAFAT
SEMESTER I
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG 2013
KATA PENGANTAR
Alkhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Maqam Wara’, Zuhud, dan Faqr” sebagai tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW , beserta keluarga , sahabat , kerabat , dan pengikut-pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dalam makalah ini, kami menguraikan tentang pengertian dan pengklasifikasian maqam tersebut. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang selama ini kita cari. Berbagai cara kami kemas dalam makalah ini, dan juga kami berharap bisa dimafaatkan semaksimal mugkin.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ibu dosen serta pihak lain yang telah membantu sehingga terselesaikannya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua. Amin
Tak ada kebenaran mutlak dalam hidup ini melainkan hanya sang pencipta semata, demikian pula dengan makalah ini tentu masih banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Tulungagung, 01 November 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, buakan melalui dalil. Para sufi mengatakan hal itu sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Apalagipengalaman tasawuf ini juga merupakan karunia dari Tuhan setelah seseorang menempuh penyucian rohani itu melalui latihan fisik-psikis yang berat.
Tasawuf juga mempunyai maqam. Maqamat dalam bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya, arti ini dipakai untuk arti jalan panjang secara berjenjang yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Sebenarnya ada banyak maqamat tasawuf, namun kali ini kami akan memaparkan mengenai Wara’, Zuhud, dan Faqr.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian wara’?
2. Bagaimana pengklasifikasian maqam wara’?
3. Apa pengertian zuhud?
4. Bagaimana tingkatan dalam zuhud?
5. Apa pengertian faqr?
6. Bagaimana pengklasifikasian maqam faqr?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penertian wara’
2. Untuk mengetahui klasifikasi maqam wara’
3. Untuk mengetahui pengertian zuhud
4. Untuk mengetahui klasifikasi maqam zuhud
5. Untuk mengetahui pengertian faqr
6. Untuk mengetahui klasifikasi maqam faqr
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wara’
1. Pengertian Wara’
Secara literal (bahasa) wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa serta menahnnya dari hal-hal syubhat (tidak jelashalal haramnya) dan maksiat. Sedang menurut terminologi, wara’ adalah menjauhi perkara syubhat.[1]
Wara’ adalah maqam yang sangat mulia dan luhur. Seacara tidak langsung makna wara’ telah tersirat dalam Al-Qur’an. Diantaranya terdapat dalam surat An-Nur ayat 15:
øÎ) ¼çmtRöq¤)n=s? ö/ä3ÏGoYÅ¡ø9r'Î/ tbqä9qà)s?ur /ä3Ïd#uqøùr'Î/ $¨B }§øs9 Nä3s9 ¾ÏmÎ/ Ò
Où=Ïæ ¼çmtRqç7|¡øtrBur $YYÍhyd uqèdur yYÏã «!$# ×LìÏàtã ÇÊÎÈ
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut dan kamu katakana dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”
Bahkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh dahabat Anas, Nabi mencontohkan sendiri bagaimana perilaku orang yang wira’i:
وعن أنس رضي الله عنه : أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم وَجَدَ تَمرَةً
فِي الطَّرِيقِ، فقال : لَولاَ أنيِّ أخَافُ أن تَكُونَ مِنَ الصَّدَقَة لأكلتُهَا
(متفقٌ عليه).
“Nabi menemukan kurma di jalan. Kemudian, beliau berkata, “Andai saja aku tidak khawatir bahwa kurama ini merupakan bagian dari zakat, pasti aku akan menemukannya.” (H.R. Bukhariy, Muslim)
Wara’ merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga kesucian jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara syubhat apalagi sampai perkara yang bersifat haram. Sehingga ketika seorang salik memang benar-benar berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi larangan Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan benteng sifat wara’, niscaya sifat yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian yang luhur yang mendarah daging. Sampai anggota tubuhnya pun akan bisa menjadi benteng yang tangguh bagi dirinya untuk menjaga jernih, segala ucapan, tingkah laku, ide dan kreativitasnya mengandung hikmah dan manfaat untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.
Semuanya bisa terbukti dari berbagai riwayat yang diambil dari kaum sufi. Sebagai contoh Syekh Bisyr Al-Hafiy ketika beliau diundang dalam jamuan makan. Saat beliau diberi hidangan tersebut namun tidak pernah berhasil. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai tiga kali. Lalu berkatalah seorang laki-laki yang mengenalnya, “Tangannya tidak akan bisa diulurkan untuk mengambil makanan yang haram atau syubhat. Sehingga, percuma saja tuan rumah ini mengundang beliau ke rumahnya.”[2]
2. Klasifikasi Wara’
Menurut Imam As-Sarraj, ahli wara’ diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan:[3]
a. Golongan yang memiliki sifat wara’ dalam menjauhi perkara syubhat, yaitu sifat diantara halal dan haram yang sudah bersifat mutlak kejelasannya. Artinya, apapun yang dikonsumsi seorang hamba hanyalah perkara yang sudah jelas kehalalannya dan tidak menyentuh sama sekali perkara yang haram murni. Tingkatan ini sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Sirin, “Tak ada sesuatu yang lebih mudah bagiku kecuali tingkatan wara’ ini ketika ada sesuatu yang meragukanku.”
b. Wara’nya Arbab Al-qulub (golongan yang memiliki hati yang bersih) dan mutahakqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat), yaitu menjauhi segala hal yang bersumber dari hati yang berpotensi membuat hati menjadi gelisah dan bergejolak ketika mengambil perkara yang syubhat. Artinya, bukan hanya berhubungan tentang kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang memang sudah diketahui kejelasan sifat halalnya, tapi sesuatu tersebut bisa menimbulkan keraguan dalam hati, maka perkara yang halal pun harus dia jauhi. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Dosa adalah segala seusatu yang mengganjal dalam hatimu.”
c. Wara’nya ‘Arifiin (ahli makrifat) dan Wajidiin (golongan yang mencintai dan meraskan menemukan Allah). Ini diungkapkan Abu Sulaiman Addarani, “Segala hal yang bisa memalingkan dari Allah merupakan kejelekan dan kesialan bagimu.” Kedudukan ini mengindikasikan bahwa segala macam apapun, meskipun perkara yang halal murni, bila memiliki potensi untuk bisa memalingkan dari Allah, tetap harus dijauhi.
Dari tiga tingkatan yang telah dipaparkan di atas, kedudukan merupakan wara’ yang umum. Yang kedua, orang yang khusus. Sedang yang ketiga adalah khusus al-khusus (istimewa).
B. Zuhud
1. Pengertian Zuhud
Zuhud secara literal adalah meninggalkan , tidak tertarik, dan tidak menyukai sesuatu. Sedang menurut terminologi sufi, zuhud adalah kemampuan hati menahan keinginan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki.[4]
Menurut Al-Junaid Al-Baghdadi, “Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa dan hati kosong dari cita-cita”.[5]Al-Ghazaliy membahasakan zuhud sebagai ungkapan atas ketidaksukaan pada segala hal yang termasuk dalam bagian nafsu. Ketika seseorang membenci segala hal yang diinginkan nafsu, ia juga akan membenci hidup kekal di dunia dan secara otomatis ia pun tidak akan memiliki sifat panjang angan-angan pada dunia ini. Hal ini disebabkan kehidupan kekal di dunia yang diinginkan oleh nafsu tujuannya hanyalah untuk bersenang-senang atas dunia tersebut. Sehingga, ketika ia telah membenci dunia, maka ia tidak akan menginginkannya.[6]
Zuhud disebut dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat. Diantaranya Q.S. Al-Hadid:20
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
“Ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian, menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Zuhud yang bersumber dari Rasulullah yang diajarkan dan dicontohkan oleh beliau secara langsung kemudian diikuti oleh para sahabat sudah menjadi karakter dan sifat yang melekat dalam hati serta sudah mendarah daging sehingga sangat sulit diadopsi umat islam yang hidup setelah masa sahabat. Sampai-sampai sahabat pernah mengungkapkan pernyataan pada golongan awal tabi’in, “Bahwa memang benar jika para tabi’in lebih banyak amal dan kesungguhannya dalam beribadah dibanding para sahabat, tapi dengan sifat zuhud yang dimiliki para sahabat, menjadikan mereka tetap lebih baik daripada para tabi’in.
Yang dikehendaki dari hakikat zuhud adalah tidak memiliki ketergantungan atau keterikatan hati dengan harta dunia. Bukan diartikan dengan tidak memiliki harta sama sekali. Sebagaimana kepribadian Nabi Sulaiman. Kekayaan dan kemegahan kerajaan yang dimilikinya tidak sampai mengeluarkannya dari sifat zuhud, bahkan Nabi Sulaiman mendapatkan status Azahad Az-Zahidin (orang yang paling zuhud diantara golongan ahli zuhud).
2. Tingkatan Zuhud
Sebagaimana maqam-maqam sebelumnya, zuhud juga memiliki tingakatan. Menurut imam Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy zuhud terbagi menjadi 3 tingkatan:[7]
a. Al-Mubtadiin (tingkat pemula), yaitu orang yang kosong tangan dan hatinya dari harta kepemilikan.
b. Al-Mutahaqqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat pada Allah).
c. Golongan yang mengetahui dan meyakini bahwa jikalau dunia diberikan pada mereka dengan status kepemilikan yang halal, dijanjikan pula ketiadaan hisab di akhirat atas status kepemilikan tersebut.
Selanjutnya orang yang zuhud memiliki beberapa tanda. Imam Al-Ghazaliy memberi 3 tanda atas sifat zuhud ditinjau dari sisi batin.[8]
a. Tidak merasa bahagia dengan wujudnya harta dan tidak merasa susah atas ketiadaan harta tersebut.
b. Tidak ada beda baginya antara orang yang mencela dan memuji.
c. Hatinya merasa tenang hanya jika tertuju kepada Allah dan yang mendominasi dalam hatinya adalah manisnya taat.
Karakter dasar manusia secara umum adalah memiliki rasa cinta. Cinta yang tertanam dalam hati ada kalanya cinta kepada Allah dan cinta pada dunia, yaitu semua hal yang berpotensi bisa memalingkan hati jauh dari-Nya. Dengan demikian, untuk menuntaskan sifat zuhud, seseorang harusdikuasai rasa cinta pada Allah supaya tidak ada ruang lagi dalam hatinya untuk cinta dunia. Maka ketika seseorang sudah memiliki rasa cinta dan merasa tenang atas zatnya Allah, ia akan selalu tersibukkan dengan-Nya dan meninggalkan yang lain (dunia).
C. Faqr
1. Pengertian Faqr
Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Sedang menurut terminologi tasawuf, fakir adalah suatu keadaan dimana hati tidak butuh kecuali kepada Allah.[9]
Makna fakir dalam Al-Qur’an tersirat dalam beberapa firman Allah, diantaranya surat Al-Fathir:15
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ÞOçFRr& âä!#ts)àÿø9$# n<Î) «!$# ( ª!$#ur uqèd ÓÍ_tóø9$# ßÏJysø9$# ÇÊÎÈ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah. Dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada hidup bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan kehidupan mewah sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadis yang menjelaskan keutamaan faqr adalah hadis yang merupakan doa Rasulullah ini:
عن أبي سعيد: اللهمّ أحيني مسكينا وتوفّني مسكينا واحشرني في زمرت المساكين. وإنّ أشقى ألأشقياء من اجتمع عليه فقرالدنيا وعذاب الآخرة
. (رواه حاكم)
“Ya Allah, berilah aku hidup dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan miskin. Dan kumpulkanlah aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya orang yang celaka adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.” (H.R. Al-Hakim)
Mayoritas para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah dan keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua makhluk yang ada pada fuqara (orang-orang yang fakir). Sampai-sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup dan tidak mengusai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi umatnya dalam sifat fakir.
2. Klasifikasi Faqr
Selanjutnya menurut Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy derajat fuqara diklasifikasikan menjadi 3:[10]
a. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara lahir batin memang tidak meminta dan menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi, ia tidak mau mengambil. Strata ini adalah maqam muqarrabin.
b. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, tidak meminta, menginginkan, atau memohon pada siapapun. Ketika diberi tanpa meminta, ia menerima. Ini adalah maqam Al-siddiqin.
c. Golongan yang tidak memiliki sesuatu dan ketika membutuhkan ia mengutarakan keinginannya pada sebagian saudaranya yang ia ketahui bahwa saudaranya akan senang dengan ungkapan pengaduannya tersebut. Maka, sesungguhnya memecahkan permasalahannya merupakan nilai shadaqah.
BAB III
KESIMPULAN
Perjalana spiritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifat tersebut kadang-kadang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Sebagian orang yang menekuni dunia kema’rifatan ia meninggalkan hal yang diragukan halalnya karena khawatir terjerumus kedalam dosa. Ia meninggalkan hal yang bersifat subhat karena khawatir terjerumus kedalam maksiat. Itulah sifat wara’, penghati-hati, sifat yang positif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan dosa terhadap hal yang diragukan halal-haramnya.
Sebagian gejala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap dunia, tidak terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang mengganggu ibadahnya ia singkiri, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan berarti “nyingkor kadonyan”, menjauhi dunia, hidup menderita. Bukan! Zuhud berarti “hidup prihatin” mengabdi Tuhan. Pola cara hidupnya sederhana, demi Ar-Rahman.
Gejala orang yang ma’rifat juga termasuk faqr,. Tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
HAG. Tamami, 2011, Psikologi Tasawuf, Bandung: PUSTAKA SETIA
Seils, A. Michael, 2004, Terbakar Cinta Tuhan, Bandung: Mizan
Siswa, Purna, 2011, Jejak Sufi, Kediri: Lirboyo Press
Smith, Margaret, 2001,Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, Surabaya: Risalah Gusti
[1]Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), h. 68
[2]Ibid, h. 69
[3]Ibid, h. 70
[4]Michael A. Seils, Terbakar Cinta Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), h. 266
[5]Tamami HAG., Psikologi Tasawuf,(Bandung:Pustaka Setia,2011) h. 172
[6] Purna Siswa, Jejak Tasawuf…, hlm. 71
[7]Michael A. Seils, Terbakar…, hlm. 266
[8]Purna Siswa, Jejak…, hlm. 75
[9]Ibid, hlm. 76
[10]Ibid, hlm. 77
0 komentar:
Posting Komentar