About

ABAD II H DAN III H

Posted by ifmarx Kamis, 05 Desember 2013 0 komentar






BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Dalam pembahasan ulumul hadis banyak sekali tema-tema yang bisa kita angkat dalam dunia sekarang ini dan kali ini kami mengangkat tema KODIFIKASI HADIS MASA MUTAQODDIMIN. Banyak sekali masalah-masalah yang sangat menarik untuk dibahas dalam tema ini. Mulai dari sejarah awal kodifikasi abad ke II H sampai masa keemasan abad III H.



B. Rumusan Masalah

1. Sejarah awal kodifikasi abad II H ?

2. Pekembangan proses kodifiksai dan masa keemasan abad III H ?



C. Tujuan

1. Mengetahui sejarah awal kodifikasi abad II H

2. Mengetahui perkembangan proses kodifikasi dan masa keemasan abad III H

























BAB II

PEMBAHASAN



1. Sejarah Awal Kodifikasi Abad II H

Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat tidak lagi berdiam diri di kota Madinah melainkan mereka mulai pergi ke kota-kota lain. Sehingga penduduk di kota-kota lainpun mulai menerima hadis. Dengan demikian mulailah berkembangnya hadis dikalangan para tabi’in.

Periwayatan hadis masa Abu Bakr dan ‘Umar masih sangat terbatas sekali, disampaikan kepada orang yang berminat dan memerlukan saja, belum sebagai pelajaran. Dikarenakan pada masa ini, beliau mengerahkan minat para sahabat untuk mempelajari Al Qur’an dan menyebarkannya.

Diterangkan bahwa, pernah ada orang bertanya kepada Abu Hurairah apakah dia banyak meriwayatkan hadits di masa ‘Umar. Abu Hurairah menjawab: “Sekiranya saya membanyakkan tentulah ‘Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.[1] Maka dari itu periwayatan hadits bisa dikatakan tidak berkembang.

Lain halnya pada masa ‘Utsman dan ‘Ali. Ketika tampuk pemerintahan dipegang oleh ‘Utsman, bergeraklah para sahabat untuk mengumpulkan hadits-hadits dari sahabat dan mulailah mereka meninggalkan tempat untuk mencari hadits.

Faktor-faktor pendukung para sahabat mulai mencari hadits dan memeliharanya yaitu[2]:



1. Kejernihan Hati dan Kuatnya Daya Hafal

Bangsa arab dahulunya adalah umat yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, sehingga mereka hanya mengandalkan ingatan, dan ingatan itu akan berkembang dan semakin kuat apabila digunakan setiap diperlukan.



2. Minat yang Kuat terhadap Agama

Bangsa arab yakin bahwa tidak ada kebahagiaan dan keberuntungan di akhirat, dan tidak ada jalan menuju kemuliaan dan kedudukan yang terhormat di anatara umat lain kecuali agama islam. Minat yang sanagt kuat ini dihimbau langsung oleh Rasulullah Saw. dalam haditsnya.



نَضَرَاللهُ اِمْرَأًسَمِعَ مَقَالَتِى فَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِل فِقْهٍ غَيْرُفَقِيهِ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهِ اِلىَ مَنْ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ.

Artinya: Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar ucapanku lalu menyampaikannya. Mungkin saja orang yang membawa (informasi) fiqh itu bukan seorang faqih, dan bisa saja orang yang membawa (informasi) fiqh menyampaikannya kepada orang yang lebih faqih daripadanya. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah.[3]

3. Kedudukan Hadits dalam Agama Islam

Sebagaimana telah kita ketahui, hadits merupakan pedoman kedua umat muslim diseluruh dunia. Sehingga membuat para sahabat senantiasa ikut dan patuh kepada Rasulullah Saw. maka kalimat itu akan mendarah daging dan menjelma dalam perilaku mereka.

4. Nabi Tahu bahwa para Sahabat akan Menjadi Pengganti Beliau dalam Mengemban Amanah dan Menyampaikan Risalah

Beliau menempuh beberapa metode untuk menyampaikan hadits, di antaranya:

a. Beliau tidak menyampaikan hadits secara beruntun, melaikan sedikit demi sedikit supaya dapat meresap dalam hati.

b. Beliau tidak berbicara panjang lebar, melainkan dengan sederhana dan mudah di pahami

c. Nabi sering kali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati yang mendengarkannya.

5. Cara Nabi Saw. Menyampaikan Hadits

Rasulullah Saw. telah dianugerahi kemampuan yang sangat luar biasa dan jarang dimilki orang lain dalam menjelaskan suatu masalah. Karena itu Al-Qur’an menyebut hadits sebagai Al- hikmah.

6. Penulisan Hadits

Penulisan adalah salah satu media terpenting dari sebuah fan ilmu karena adanya tulisan bisa menjadikan orang yang belum tahu bisa menjadi tahu. Dalam upaya pemeliharaan hadits penulisan menjadi tujuan utama.

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., katanya, “Tidak seorangpun dari sahabat Nabi lebih banyaka dariku dalam meriwayatkan hadits, kecuali abdullah bin ‘Amr. Dahulunya ia menulis sedangkan aku tidak.”

Mulai dari itulah para sahabat muali mempelihara hadits dengan menghafalkan dan diteruskan dengan menulisnya.





2. Pekembangan Proses Kodifiksai dan Masa Keemasan Abad III H



Sesudah masa ‘Utsman ‘Ali timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan menghafalkan serta menyebarkan ke masyarakat luas. Pada abad ini disebut “Azha ushur al-sunnah al-Nabawiyyah” (masa keemasan sunah), karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Pada fase ini terkenallah beberapa orang sahabat dengan julukan “bendaharawan hadits”, yakni : orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits.

Mereka memperoleh riwayat-riwayat yang banyak itu adakala karena :[4]

a. Terdahulu benar ke dalam islam, seperti : Khulafa Ar Rasyidin dan Abdullah ibn Mas’ud.

b. Kuat hafalan, seperti : Abu Hurairah

c. Menerima riwayat dari setengah sahabat selain mendengar dari Nabi, seperti : Anas ibn Malik.

d. Lama menyertai Nabi dan mengetahui keadaan-keadaan nabi karena bergaul rapat dengan Nabi, seperti : istri-istri Nabi.

e. Berusaha mencatatkan, seperti : Abdullah ibn Amer ibn ‘Ash.

Di antara sahabat yang membanyakkan riwayat menurut keterangan Ibnu Jauzy dalam Talqih Fuhumi Ahli ‘I-Atsar , ialah :

a. Abu Hurairah

b. ‘Aisyah

c. Anas ibn Malik

d. Abdullah ibn Abbas

e. Abdullah ibn ‘Umar

f. Jabir ibn Abdillah

g. Abu Sa’id Al Khudry

h. Ibnu Mas’ud

i. Abdullah ibn Amer ibn ‘Ash

Menurut perhitungan sebagian ahli hadits para sahabat penghafal hadits yang paling banyak hafalannya sesudah Abu Hurairah, ialah :

a. Abdullah ibn ‘Umar (2630 Hadits)

b. Anas ibn Malik (2276 Hadits)

c. ‘Aisyah (2210 Hadits)

d. Abdullah ibn Abbas (1660 Hadits)

e. Jabir ibn Abdullah (1540 Hadits)

f. Abu Sa’id Al Khudry (1170 Hadits)

Dan kota-kota yang menjadi pusat pembelajaran Hadits yaitu :

1. Madinah Ibnu ishaq w. 151

2. Makkah ibnu juraid w. 150

3. Kuffah Sufyan ats Tsauri w. 161

4. Bashrah Robi’ bin shobih w. 160

5. Syam Al Auza’i w. 157

6. Mesir Abdullah bin wahb w. 197

Ketika tampuk pemerintahan dikendalikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, mulailah penghimpunan hadits secara resmi dan masal. Faktor yang mendorong munculnya gagasan mulia ini antara lain karena wilayah pemerintahan islam serta keberadaan para pemeluknya ketika itu semakin meluas ke berbagai penjuru daerah, sementara para penghafal hadits telah berangsur-angsur meninggal baik dalam medan eang maupun lanjut usia.[5]

Untuk merealisasikan ide cemerlanh ini, khalifah menyuruh gubenurnya (qodhi) di Madinah, Abu Bakar bin Hazm supaya menulis dan membukukan hadits Rasulullah Saw.

Dalam suratnya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis :



أنظر ما كان من حديث رسول الله صلّى الله عليه وسلم فاكتبه فإنّي خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولا يقبل الاّ حديث الرّسول صلّى الله عليه وسلّم ولتفشوا العم ولتجلسوا حتّى يعلم من لا يعلم فإنّ العلم لا يهلك حتّى يكون سرّ



“ Perhatikan hadis-hadis Rosululloh saw yang kau temukan, lalu tulislah sebab aku khawatirakan lenyapnya ilmu dan meninggalnya ulama’. Jangan terima selain dari hadis Rasulullah saw, tebarkanlah ilmu dan adakanlah majelis-majelis belajar sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu. Sesungguhnya ilmu tidak akan lenyap hingga dijadikan barang rahasia”.[6]

Instruksi serupa juga dikirimkan khalifah kepada semua pejabat bawahannya diberbagai penjuru wilayah. Sehingga muncullah kitab-kitab Hadits yang sangat fenomenal, tapi sangat disayangkan karena dari kitab itu yang sampai saat ini masih ada hanyalah “Al Muwatthoí” karya imam Malik.

Pada masa selanjutnya para ulama’ Hadits berusaha memperbaiki kitab-kitab yang telah ada. Kemudian mereka pada masa ini lebih fokus untuk menyusun kitab musnad, kitab yang khusus menghimpun hadits Nabi saw yang dikelompokkan berdasarkan pada nama sahabat yang meriwayatkan.

Tercatat sebagai penyusun pertama penulisan hadits dengan format musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman bin Jarud ath Thoyalisy (133-204 H.) Disusul kemudian Asad bin Musa al Amawi (w. 212 H.) Musaddad al Bashry (w. 228 H.) Yahya bin Abdil Hamid al Kufy (w. 228 H.) Ishaq bin Rohuyah (w. 238 H.) dan lainnya. Kitab sejenis yang dinilai paling memadai dan paling luas adalah musnad milik Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H. )

Pelopor pertama dalam penyusunan kitab hadits yang khusus menghimpun hadits shohih adalah Muhammad bin Isma’il al Bukhory (194-296 H.) denga kitab haditsnya yang terkenal yakni shohih Bukhory. Di susul kemudian oleh salah satu muridnya yakni Muslimbin Hajjaj bin Muslim al Qusyair (204-261 H.) dalam kitabnya Shohih Muslim.

Disamping menghimpun kitab Musnad dan Shohih, pada abad ketiga juga muncul kitab Hadits yang berformat Sunan seperti Sunan Abu Daud, Sunan at Tirmidzi, Sunan an Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah.





BAB III

PENUTUP



1. Kesimpulan

Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat tidak lagi berdiam diri di kota Madinah melainkan mereka mulai pergi ke kota-kota lain. Sehingga penduduk di kota-kota lainpun mulai menerima hadis.

Diawali oleh Abu Bakr dan ‘Umar yang belum pesat perkembangannya lalu diteruskan oleh ‘Utsman dan ‘Ali yang sudah mulai kelihatan khaliyahnya.

Diteruskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan menyuruh seluruh bawahannya dan qodhi di Mekah untuk menulis seluruh hadits dari Nabi sehingga memunculkan beberapa kitab Hadits yang fenomenal.







































DAFTAR PUSTAKA


‘ITR, NURUDDIN.2012.”’ULUMUL HADIS”.Bandung:Rosda
A.B,MISBAH.2010.”MUTIARA ILMU HADIS”.Kediri:Mitra Pesantren
ASH SHIDDIEQY, M. HASBI.Cet X 1991.”SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU HADITS”.Jakarta:PT Bulan Bintang
SURYADILAGA, M.ALFATIH.Dkk.2010.”ULUMUL HADIS”.Yogyakarta:Teras




[1] Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 62
[2] ‘itr, Nuruddin, Ulumul Hadis, hlm. 25
[3] ‘itr, Nuruddin, Ulumul Hadis, hlm. 27
[4] Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 72
[5] Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadis, hlm. 27
[6] Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadis, hlm. 28

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman