About

PEREMPUAN

Posted by ifmarx Kamis, 16 Januari 2014 0 komentar
PERSPEKTIF PEREMPUAN DALAM AGAMA HINDUISME DALAM KITAB RG-WEDA PADA PERIODE 1500-50 SM

Oleh : Arwani Ilyas[*]


Banyak sekali keragaman dalam sejarah panjang Hinduisme telah diakui hingga sekarang. Agama Hindu yang patriarkal(laki-laki lebih diunggulkan) yang ada sejak zaman Rg-Weda (teks paling pertama orang-orang Indo-Eropa di India). Dalam Rg-Weda memiliki ciri patriarkal, etnis, berorientasi keluarga dan mempertahankan hidup. Tujuan hidup mereka untuk mempertahankan dominasi laki-laki dan kaum perempuan sebagai istri juga penting untuk mewujudkan tujuan tersebut, peranannya dalam keluarga unutk memelihara tata tertib sosial dan alam. Tentu saja Rg-Weda tetap memberikan penghargaan terhadap feminimitas dan komplementaritas antara suami dan istri yang masing terpenjara dalan suatu sistem yang mengikat.

Peranan ideal perempuan umumnya dapat di golongkan dengan gambaran gadis dan pengantin perempuan. Dalam Rg-Weda anak perempuan (duhita) dan gadis (kanya) dipuji karena cantik, dandanan yang menarik, senyum yang manis, pinggul yang sintal dan paha yang besar sehingga menunjukkan interest pada daya sensualitas feminim dan kemampuan perempuan untuk melahirkan seorang anak. Sebelum para perempuan mereka akan mengikuti sebuah festival pertemuan (samana), dalam acara itu mereka bertemu dengan laki-laki pilihan mereka setelah saling tertarik mereka akan mengikat hubungan dan akan menghadap ke orang tua mereka untuk mendapatkan restu dan merencanakan perkawinan.

Rg-Weda menjelaskan pula upacara perkawinan. Dalam upacara itu terdapat doa-doa yang ditunjukkan kepada Visvavasu, pelindung perawan agar memindahkan penjagaannya kepada yang lain. Doa-doa tersebut dikhususkan supaya mereka mendapatkan kebahagiaan (saubhagatva), hidup bersama sampai ajal menjemput, diberikan kemakmuran dalam segala hal, kesatuan hati, dan tak terhindarkan mempunyai keturunan. Rg-Weda menanamkan sebuah doktrin bahwasanya seorang istri tidak boleh marah kepada suaminya, ramah, lemah lembut, gembira, melahirkan anak laki-laki, mengasihi dewa-dewa, membawa berkah kepada hewan-hewan ternak, dan menjadi ratu/contoh yang baik bagi iparnya.

Karena agama ini dikhususkan untuk memenuhi kesejahteraan keluarga, sehingga lebih dikhususkan di rumah yaitu dengan mengundang para dewa untuk mengunjungi dan menerima hadiah yang sudah disediakan. Bisa dikatakan istrilah yang mengundang para dewa kerumah untuk memberkati mereka.

Sementara peremuan sebagai istri dan ibu tetap dimuliakan, tetapi masih kalah dominan dengan sang suami karena suami adalah kepala keluarga yang patriarkal. Mereka bertanggung jawab dalam sebuah ritual keagamaan dalam rumah seperti, menjaga api supaya tetap menyala dikarenakan api sebagai lambang dewi Agni merupakan “mulut para dewa”. Tradisi umat Hindu menyebutkan beberapa perempuan dalam Rg-Weda tidak hanya sebagai penyitir dan penyanyi himne-himne tetapi mereka juga sebagai peramal (riss: penyair perempuan yang dihormati dan dipercaya sebagai perantara penerima wahyu Weda).

Tanpa ajaran Rg-Weda yang memperkokoh kehidupan, psikologi, sosiologi keagamaan para perempuan Hindu akan sangat berbeda. Aspek orientasi kesemuaannya tertanam dalam tiga hal kehidupan duniawi (trivarga), yaitu dharma, artha, dan kama. Meletakkan nilai-nilai keduniawian dalam konteks agama mengakibatkan paham matrealisme Rg-Weda, sehingga perempuan memberikan konstribusi melalui laku dhama (tata aturan keluarga, masyarakat dan alam) hakikatnya para wanita berperan untuk melahirkan anak-anak, mereka berjasa terhadap artha (kekayaan material dalam keluarga patriarkal) dan melalui keindahan mereka terhadap kama, keinginan, dan kenikmatan.

Setelah sang istri mempunyai anak, jika anak yang lahir laki-laki, anak laki tersebut mempunyai tiga hutang/tuntutan yang harus dipenuhi yakni harus belajar dengan guru, harus berkorban, dan harus mempunyai keturunan khususnya anak laki-laki. Bila yang lahir anak perempuan, anak tersebut hanya diharuskan patuh kepada agamanya dan melahirkan anak laki-laki. Mereka disiapkan untuk menjadi istri di masa yang akan datang dalam melaksanakan tugasnya dalam keluarganya. Anak perempuan akan dinikahkan laki-laki yang sudah matang dalam proses belajarnya karena seorang laki-laki tersebut harus menyelesaikan tugasnya.

Dari sini kita melihat laki-laki dan peremuan dibedakan dalam hal memperoleh pendidikan, lakli-laki di haruskan sedangkan perempuan cuma sebatas untuk kebutuhan nanti sudah menikah. Betapa tidak adilnya agama ini, apa karena wanita makhluk yang lemah, dan wajib untuk dilindungi apa harus selalu dikesampingkan, mungkin ada wanita yang mempunyai tingkat pengetahuan tentang Rg-Weda melebihi laki-laki tapi itupun tidak lebih banyak ketimbang laki-laki karena sejak kecil sudah ditanamkan prinsip dasar perempuan untuk melanyani para dewa dan menjadi istri yang baik tanpa harus memiliki pengetahuan yang sama dengan laki-laki.

Nah, disini mulai terlihat betapa perempuan sangat di kesampingkan. Dirumah mereka hanya disuruh-suruh suami dengan dalih harus mentaati isi dari Rg-Weda tersebut. Apalagi para istri di suruh untuk melahirkan bayi laki-laki, otomatis perempuan hanya dijadikan sebagai silent partner untuk sang suami.

Persoalan pendidikan inilah yang menjadi sorotan pada masa berikutnya. Memang pada abad satu sebelum masehi, orang banyak melihat persamaan gender ini sudah ada dalam kitab-kitab dharmasastra, akan tetapi melihat pada kenyataan yang ada para Brahman laki-laki tetap mengunggulkan diri sendiri tanpa ada campur tangan Brahman peremuan dalam segala hal khususnya untuk mempertahankan status mereka dalam masyarakat. Mereka berunding supaya perempuan tetap dibawah dengan cara: pertama, mendorong perempuan melakukan kegiatan berbudaya dalam hal estetika di rumah kedua, menyatakan perempuan berkasta tinggi hanya ditentukan oleh pengadilan tingkah laku atau kesucian. Bisa disimpulkan pendidikan perempuan pada masa itu sangatlah kurang memadahi tetapi mereka menerima dengan lapang dada tanpa ada gejolak sedikitpun.

Akhirnya pada zaman klasik pendidikan bukan sesuatu yang harus diperjuangkan karena mereka sudah puas menerima status yang sudah terdefinisikan diatas. Bahkan penyamaan yang terjadi antara perempuan dengan kaum sudra tidak menghilangkan cara berfikir positif kita kepada mereka yang berdasarkan pada pandangan kitab Rg-Weda tentang perempuan sebagai istri dan ibu yang baik. 










[*]Mahasiswa Aqidah Filsafat semester 1 Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman