About

ABAD II H DAN III H

Posted by ifmarx Kamis, 05 Desember 2013 0 komentar






BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Dalam pembahasan ulumul hadis banyak sekali tema-tema yang bisa kita angkat dalam dunia sekarang ini dan kali ini kami mengangkat tema KODIFIKASI HADIS MASA MUTAQODDIMIN. Banyak sekali masalah-masalah yang sangat menarik untuk dibahas dalam tema ini. Mulai dari sejarah awal kodifikasi abad ke II H sampai masa keemasan abad III H.



B. Rumusan Masalah

1. Sejarah awal kodifikasi abad II H ?

2. Pekembangan proses kodifiksai dan masa keemasan abad III H ?



C. Tujuan

1. Mengetahui sejarah awal kodifikasi abad II H

2. Mengetahui perkembangan proses kodifikasi dan masa keemasan abad III H

























BAB II

PEMBAHASAN



1. Sejarah Awal Kodifikasi Abad II H

Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat tidak lagi berdiam diri di kota Madinah melainkan mereka mulai pergi ke kota-kota lain. Sehingga penduduk di kota-kota lainpun mulai menerima hadis. Dengan demikian mulailah berkembangnya hadis dikalangan para tabi’in.

Periwayatan hadis masa Abu Bakr dan ‘Umar masih sangat terbatas sekali, disampaikan kepada orang yang berminat dan memerlukan saja, belum sebagai pelajaran. Dikarenakan pada masa ini, beliau mengerahkan minat para sahabat untuk mempelajari Al Qur’an dan menyebarkannya.

Diterangkan bahwa, pernah ada orang bertanya kepada Abu Hurairah apakah dia banyak meriwayatkan hadits di masa ‘Umar. Abu Hurairah menjawab: “Sekiranya saya membanyakkan tentulah ‘Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.[1] Maka dari itu periwayatan hadits bisa dikatakan tidak berkembang.

Lain halnya pada masa ‘Utsman dan ‘Ali. Ketika tampuk pemerintahan dipegang oleh ‘Utsman, bergeraklah para sahabat untuk mengumpulkan hadits-hadits dari sahabat dan mulailah mereka meninggalkan tempat untuk mencari hadits.

Faktor-faktor pendukung para sahabat mulai mencari hadits dan memeliharanya yaitu[2]:



1. Kejernihan Hati dan Kuatnya Daya Hafal

Bangsa arab dahulunya adalah umat yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, sehingga mereka hanya mengandalkan ingatan, dan ingatan itu akan berkembang dan semakin kuat apabila digunakan setiap diperlukan.



2. Minat yang Kuat terhadap Agama

Bangsa arab yakin bahwa tidak ada kebahagiaan dan keberuntungan di akhirat, dan tidak ada jalan menuju kemuliaan dan kedudukan yang terhormat di anatara umat lain kecuali agama islam. Minat yang sanagt kuat ini dihimbau langsung oleh Rasulullah Saw. dalam haditsnya.



نَضَرَاللهُ اِمْرَأًسَمِعَ مَقَالَتِى فَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِل فِقْهٍ غَيْرُفَقِيهِ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهِ اِلىَ مَنْ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ.

Artinya: Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar ucapanku lalu menyampaikannya. Mungkin saja orang yang membawa (informasi) fiqh itu bukan seorang faqih, dan bisa saja orang yang membawa (informasi) fiqh menyampaikannya kepada orang yang lebih faqih daripadanya. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah.[3]

3. Kedudukan Hadits dalam Agama Islam

Sebagaimana telah kita ketahui, hadits merupakan pedoman kedua umat muslim diseluruh dunia. Sehingga membuat para sahabat senantiasa ikut dan patuh kepada Rasulullah Saw. maka kalimat itu akan mendarah daging dan menjelma dalam perilaku mereka.

4. Nabi Tahu bahwa para Sahabat akan Menjadi Pengganti Beliau dalam Mengemban Amanah dan Menyampaikan Risalah

Beliau menempuh beberapa metode untuk menyampaikan hadits, di antaranya:

a. Beliau tidak menyampaikan hadits secara beruntun, melaikan sedikit demi sedikit supaya dapat meresap dalam hati.

b. Beliau tidak berbicara panjang lebar, melainkan dengan sederhana dan mudah di pahami

c. Nabi sering kali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati yang mendengarkannya.

5. Cara Nabi Saw. Menyampaikan Hadits

Rasulullah Saw. telah dianugerahi kemampuan yang sangat luar biasa dan jarang dimilki orang lain dalam menjelaskan suatu masalah. Karena itu Al-Qur’an menyebut hadits sebagai Al- hikmah.

6. Penulisan Hadits

Penulisan adalah salah satu media terpenting dari sebuah fan ilmu karena adanya tulisan bisa menjadikan orang yang belum tahu bisa menjadi tahu. Dalam upaya pemeliharaan hadits penulisan menjadi tujuan utama.

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., katanya, “Tidak seorangpun dari sahabat Nabi lebih banyaka dariku dalam meriwayatkan hadits, kecuali abdullah bin ‘Amr. Dahulunya ia menulis sedangkan aku tidak.”

Mulai dari itulah para sahabat muali mempelihara hadits dengan menghafalkan dan diteruskan dengan menulisnya.





2. Pekembangan Proses Kodifiksai dan Masa Keemasan Abad III H



Sesudah masa ‘Utsman ‘Ali timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan menghafalkan serta menyebarkan ke masyarakat luas. Pada abad ini disebut “Azha ushur al-sunnah al-Nabawiyyah” (masa keemasan sunah), karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Pada fase ini terkenallah beberapa orang sahabat dengan julukan “bendaharawan hadits”, yakni : orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits.

Mereka memperoleh riwayat-riwayat yang banyak itu adakala karena :[4]

a. Terdahulu benar ke dalam islam, seperti : Khulafa Ar Rasyidin dan Abdullah ibn Mas’ud.

b. Kuat hafalan, seperti : Abu Hurairah

c. Menerima riwayat dari setengah sahabat selain mendengar dari Nabi, seperti : Anas ibn Malik.

d. Lama menyertai Nabi dan mengetahui keadaan-keadaan nabi karena bergaul rapat dengan Nabi, seperti : istri-istri Nabi.

e. Berusaha mencatatkan, seperti : Abdullah ibn Amer ibn ‘Ash.

Di antara sahabat yang membanyakkan riwayat menurut keterangan Ibnu Jauzy dalam Talqih Fuhumi Ahli ‘I-Atsar , ialah :

a. Abu Hurairah

b. ‘Aisyah

c. Anas ibn Malik

d. Abdullah ibn Abbas

e. Abdullah ibn ‘Umar

f. Jabir ibn Abdillah

g. Abu Sa’id Al Khudry

h. Ibnu Mas’ud

i. Abdullah ibn Amer ibn ‘Ash

Menurut perhitungan sebagian ahli hadits para sahabat penghafal hadits yang paling banyak hafalannya sesudah Abu Hurairah, ialah :

a. Abdullah ibn ‘Umar (2630 Hadits)

b. Anas ibn Malik (2276 Hadits)

c. ‘Aisyah (2210 Hadits)

d. Abdullah ibn Abbas (1660 Hadits)

e. Jabir ibn Abdullah (1540 Hadits)

f. Abu Sa’id Al Khudry (1170 Hadits)

Dan kota-kota yang menjadi pusat pembelajaran Hadits yaitu :

1. Madinah Ibnu ishaq w. 151

2. Makkah ibnu juraid w. 150

3. Kuffah Sufyan ats Tsauri w. 161

4. Bashrah Robi’ bin shobih w. 160

5. Syam Al Auza’i w. 157

6. Mesir Abdullah bin wahb w. 197

Ketika tampuk pemerintahan dikendalikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, mulailah penghimpunan hadits secara resmi dan masal. Faktor yang mendorong munculnya gagasan mulia ini antara lain karena wilayah pemerintahan islam serta keberadaan para pemeluknya ketika itu semakin meluas ke berbagai penjuru daerah, sementara para penghafal hadits telah berangsur-angsur meninggal baik dalam medan eang maupun lanjut usia.[5]

Untuk merealisasikan ide cemerlanh ini, khalifah menyuruh gubenurnya (qodhi) di Madinah, Abu Bakar bin Hazm supaya menulis dan membukukan hadits Rasulullah Saw.

Dalam suratnya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis :



أنظر ما كان من حديث رسول الله صلّى الله عليه وسلم فاكتبه فإنّي خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولا يقبل الاّ حديث الرّسول صلّى الله عليه وسلّم ولتفشوا العم ولتجلسوا حتّى يعلم من لا يعلم فإنّ العلم لا يهلك حتّى يكون سرّ



“ Perhatikan hadis-hadis Rosululloh saw yang kau temukan, lalu tulislah sebab aku khawatirakan lenyapnya ilmu dan meninggalnya ulama’. Jangan terima selain dari hadis Rasulullah saw, tebarkanlah ilmu dan adakanlah majelis-majelis belajar sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu. Sesungguhnya ilmu tidak akan lenyap hingga dijadikan barang rahasia”.[6]

Instruksi serupa juga dikirimkan khalifah kepada semua pejabat bawahannya diberbagai penjuru wilayah. Sehingga muncullah kitab-kitab Hadits yang sangat fenomenal, tapi sangat disayangkan karena dari kitab itu yang sampai saat ini masih ada hanyalah “Al Muwatthoí” karya imam Malik.

Pada masa selanjutnya para ulama’ Hadits berusaha memperbaiki kitab-kitab yang telah ada. Kemudian mereka pada masa ini lebih fokus untuk menyusun kitab musnad, kitab yang khusus menghimpun hadits Nabi saw yang dikelompokkan berdasarkan pada nama sahabat yang meriwayatkan.

Tercatat sebagai penyusun pertama penulisan hadits dengan format musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman bin Jarud ath Thoyalisy (133-204 H.) Disusul kemudian Asad bin Musa al Amawi (w. 212 H.) Musaddad al Bashry (w. 228 H.) Yahya bin Abdil Hamid al Kufy (w. 228 H.) Ishaq bin Rohuyah (w. 238 H.) dan lainnya. Kitab sejenis yang dinilai paling memadai dan paling luas adalah musnad milik Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H. )

Pelopor pertama dalam penyusunan kitab hadits yang khusus menghimpun hadits shohih adalah Muhammad bin Isma’il al Bukhory (194-296 H.) denga kitab haditsnya yang terkenal yakni shohih Bukhory. Di susul kemudian oleh salah satu muridnya yakni Muslimbin Hajjaj bin Muslim al Qusyair (204-261 H.) dalam kitabnya Shohih Muslim.

Disamping menghimpun kitab Musnad dan Shohih, pada abad ketiga juga muncul kitab Hadits yang berformat Sunan seperti Sunan Abu Daud, Sunan at Tirmidzi, Sunan an Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah.





BAB III

PENUTUP



1. Kesimpulan

Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat tidak lagi berdiam diri di kota Madinah melainkan mereka mulai pergi ke kota-kota lain. Sehingga penduduk di kota-kota lainpun mulai menerima hadis.

Diawali oleh Abu Bakr dan ‘Umar yang belum pesat perkembangannya lalu diteruskan oleh ‘Utsman dan ‘Ali yang sudah mulai kelihatan khaliyahnya.

Diteruskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan menyuruh seluruh bawahannya dan qodhi di Mekah untuk menulis seluruh hadits dari Nabi sehingga memunculkan beberapa kitab Hadits yang fenomenal.







































DAFTAR PUSTAKA


‘ITR, NURUDDIN.2012.”’ULUMUL HADIS”.Bandung:Rosda
A.B,MISBAH.2010.”MUTIARA ILMU HADIS”.Kediri:Mitra Pesantren
ASH SHIDDIEQY, M. HASBI.Cet X 1991.”SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU HADITS”.Jakarta:PT Bulan Bintang
SURYADILAGA, M.ALFATIH.Dkk.2010.”ULUMUL HADIS”.Yogyakarta:Teras




[1] Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 62
[2] ‘itr, Nuruddin, Ulumul Hadis, hlm. 25
[3] ‘itr, Nuruddin, Ulumul Hadis, hlm. 27
[4] Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 72
[5] Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadis, hlm. 27
[6] Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadis, hlm. 28
Read More..

NASIKH DAN MANSUKH

Posted by ifmarx Selasa, 03 Desember 2013 1 komentar
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Dengan mempelajari Nasikh-Mansukh di harapkan para Mahasiswa agar lebih mengerti tentang pengertian Nasikh-Mansukh yang berarti nasikh adalah menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang kemudian, sedangkan mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan oleh hukum.

Menurut akal bisa dipahami bahwa setiap umat itu memiliki kepentingan yang berbeda antara waktu yang satu dengan waktu yang lain, antara satu situasi dengan situasi yang lain. Sehingga terkadang pada suatu waktu dan situasi tertentu, karena adanya kepentingan tertentu ditetapkan adanya aturan hukum tertentu, akan tetapi pada situasi yang lain, karena adanya perubahan situasi dan kepentingan, maka ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu dirubahnya, disesuaikan dengan situasi dan kepentingan itu.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Nasikh dan Mansukh ?

2. Syarat-syarat Nasikh Mansukh ?

3. Jenis Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an ?

4. Cara-cara Mengetahui Nasikh ?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui Pengertian Nasikh dan Mansukh.

2. Mengetahui Syarat-syarat Nasikh Mansukh

3. Mengetahui Jenis Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an

4. Cara-cara Mengetahui Nasikh

D. Batasan Masalah

Dalam makalah ini, kami membatasi pembahasan hanya mengenai pembahasan nasikh mansukh. Dengan demikian kami berharap pembahasan kami terfokus pada tema tersebut.





BAB II
PEMBAHASAN



1. Pengertian Nasikh dan Mansukh

Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu antara lain penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah, dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan disebut mansukh.[1]

Atau lebih jelasnya nasikh adalah menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang kemudian, sedangkan mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan oleh hukum yang datang kemudian itu.[2] Sebagaimana yang bisa kita lihat dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 106:[3]

Artinya : ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Al Baqoroh : 106)

Kemugkinan Adanya Nasikh dan Mansukh[4]. Baik ditinjau dari segi akal maupun riwayat, maka perihal nasikh mansukh itu bisa saja terjadi. Hal ini sudah disepakati para ulama, kecuali nasikh mansukh di dalam Al-Qur’an ataupun Al-Qur’an dengan Al-hadis para ulama masih berbeda pendapat.

Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya nasikh mansukh dan dalil-dalil nash. Pada umumnya mereka sepakat bahwa al-hadis bisa dinasakh oleh al-hadis atau oleh Al-Qur’an.

Menurut rasio manusia bisa dipahami bahwa setiap umat itu memiliki kepentingan yang berbeda antara waktu yang satu dengan waktu yang lain, antara satu situasi dengan situasi yang lain. Sehingga terkadang pada suatu waktu dan situasi tertentu, karena adanya kepentingan tertentu ditetapkan adanya aturan hukum tertentu, akan tetapi pada situasi yang lain, karena adanya perubahan situasi dan kepentingan, maka ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu dirubahnya, disesuaikan dengan situasi dan kepentingan itu.

Misalnya perihal ketentuan kiblat shalat, semula Nabi SAW shalat menghadap ke Baitul Maqdis kemudian dinasakh dengan menghadap ke Masjidil Haram.

“Sesungguhnya Nabi SAW menghadapkan wajahnya pada waktu sholat ke Masjidil Aqsha selama enam belas bulan kemudian menggantinya ke Ka’bah”.

Jadi secara riwayat ternyata ketentuan nasikh mansukh itu pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.

2. Syarat-syarat Nasikh Mansukh

Syarat bisa terjadinya nasikh mansukh adalah:[5]

a. Dalil nasikh harus terpisah dengan dalil mansukhnya.

b. Dalil nasikh harus lebih kuat atau sama kuat daripada dalil yang mansukh. Jadi dalil Al-Qur’an hanya bisa dimansukh oleh dalil Al-Qur’an atau dalil hadis mutawatir, karena kedudukan dalil Al-Qur’an dan hadis mutawwatir adalah sama-sama qath’i.

c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’. Kalau nasikhnya tidak berupa dalil syara’ seperti mati, maka tidak disebut dengan nasakh. Tidak adanya hukum bagi orang yang sudah mati sudah bisa dipahami dengan akal tanpa petunjuk syara’.

d. Yang dimansukh harus hukum syara’, sedangkan nasikhnya juga harus berupa dalil-dalil syara’.

e. Ketentuan hukum yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu, sebab bila dibatasi oleh waktu maka berarti dengan habisnya ketentuan waktu otomatis habis pula ketentuan hukumnya.

Di samping itu masih ada syarat-syarat nasakh yang belum disepakati yakni:

a. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.

b. Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dinasakh (mansukh).

c. Hukum pengganti lebih berat daripada hukum yang diganti.



Mengenai nasikh mansukh dalam Al-Qur’an, para ulama masih ada yang berbeda pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an, artinya ada ayat atau ketentuan hukum dalam Al-Qur’an yang dihapuskan. Alasannya adalah berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an:

Artinya : Apa-apa yang Kami hapuskan dari sesuatu ayat atau Kami lupakan, maka Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sepertinya. (QS. Al-Baqarah 106).

Golongan kedua menyatakan tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Salah satu alasannya adalah tidak ada hikmahnya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an itu, kecuali justru menambah keraguan akan kebenaran Al-Qur’an.[6]

3. Jenis Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an[7]

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam, yaitu:

1. Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Umpamanya ayat tentang perang (qital) pada surat Al-Anfal ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :



Artinya : Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (Q.S. Al-Anfal 65)

Ayat ini menurut jumhur ulama dihapus oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:



Artinya : sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal 66)



2. Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian, menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati terdapat ayat-ayat berikut:



Artinya : diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah 180).

Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadits la washiyyah li warits (tidak ada wasiat bagi ahli waris).

3. Nasikh kully,yaitu penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 :

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ö‘r& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þ’Îû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ



Artinya : orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah 234)



Dan dihapus oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada surat Al-Baqarah ayat 240 :



Artinya : dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-baqarah 240)



4. Nasikh juz’iy,yaitu penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau penghapusan hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4:



Artinya : dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur 4)

Dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh dalam surat yang sama ayat 6:



Artinya : dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur 6)

Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam, yaitu:

1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang tergolong kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya, sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadits ‘Aisyah r.a. yang mengatakan:

“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh radha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh dengan lima (isapan menyusu) yang diketahui. Kemudian Rasulullah wafat”.

Maksudnya, mula-mula ditetapkan dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian dirubah menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termaktub di dalam mushaf karena baik bacaanya maupun hukumnya telah di-nasikh.

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaanya tetap ada. Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin pada umat Islam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat berikut:

Artinya : untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Al-Kafirun 6)

3. Penghapusan terhadap bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku, berbunyi:

“Jika seseorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah kedua . . . .”

Cerita tentang ayat orang tua berzina tersebut, diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’b. Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang berbeda mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:

“Seorang pria tua dan seorag wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina)”.

Adapun dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:

1. Nasikh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Terhadap nasikh seperti ini, para ulama sepakat akan kebolehannya.

2. Nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunah. Bagi kalangan ulama Hanafiyyah, nasikh semacam ini diperkenankan bila sunah yang menghapusnya berkedudukan mutawatir atau mashyur. Akan tetapi, ketentuan itu tidak berlaku apabila sunah yang menghapusnya berupa sunah ahad. Bila kedua jenis sunah di atas berstatus qhath’i tsubut, sebagaimana Al-Qur’an, maka hal itu berbeda dengan sunah ahad yang bersifat zhanny tsubut.

Keputusan kalangan Hanafiyah di atas mendapat bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama ushul fiqih. Menurut mereka, apapun jenis sunah yang akan menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an, hal itu tetaplah tidak diperkenankan. Asy-Syafi’i mengajukan analisisnya sebagai berikut, “sunah tidak sederajat dengan Al-Qur’an. Padahal nasikh yang dijanjikan Tuhan dalam surat Al-Baqarah ayat 106 adalah yang sepadan derajatnya atau lebih tinggi. Dalam surat yunus ayat 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak untuk mengubah Al-qur’an atas kemauannya.surat An-nahl ayat 44 menyatakan bahwa misi Muhammad adalah penjelas terhadap al-Qur’an, sehingga setelah mereka memperoleh penjelasan darinya, umatnya dapat mengamalkan al-Qur’an. Bila Muhammad berhak menghapus ketentuan Al-Qur’an, nantinya yang diamalkan umat bukan lagi Al-Qur’an, tetapi As-Sunah. Ini berarti bertentangan dengan kandungan surat An-Nahl ayat 44. Dengan demikian menghindari nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunah dapat menjauhi celaan atas diri Muhammad”.

3. Nasikh As-Sunah dengan Al-Qur’an. Menurut mayoritas ahli ushul, nasikh semacam ini benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat ke bait Al-Muqaddas menjadi ke Ka’bah. Akan tetapi, lagi-lagi Asy-Syafi’i menolak penghapusan semacam ini. Menurutnya jika Muhammad menetapkan suatu ketentuan, kemudian turun ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang sesuai dengan Al-qur’an. Jika tidak demikian akan terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunah yang menjadi bayan Al-Qur’an sudah dihapus.

4. Nasikh As-Sunah dengan as-Sunah. Bagi Al-Qaththari pada dasarnya ketentuan nasikh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.



4. Cara-cara Mengetahui Nasikh[8]

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ada beberapa cara bisa dilakukan, diantaranya :

a. Penjelasan, dari nash Al-Qur’an dengan ayat yang menunjukkan adanya pen-nask-an, seperti Q.S. Al-Mujadilah ayat13

÷Läêø)xÿô©r&uä br& (#qãBÏd‰s)è? tû÷üt/ ô“y‰tƒ óOä31uqøgwU ;M»s%y‰|¹ 4 øŒÎ*sù óOs9 (#qè=yèøÿs? z>$s?ur ª!$# öNä3ø‹n=tæ (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãè‹ÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur 4 ª!$#ur 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÌÈ

Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah 13)

Ayat di atas me-nasikh perintah bersedekah sebelum berbicara kepada Nabi Saw. yang terdapat pada ayat sebelumnya.

b. Penjelasan dari Nabi Saw. mengenai pe-nask-an.

c. Perbuatan Nabi Saw. seperti perajamanyang dilakukannya kepada sahabat Ma’iz dan tidak menderanya

d. Kesepakatan (ijma’) para sahabat bahwa ayat ini nasikh dan dalil itu mansukh

e. Penukilan yang dilakukan oleh seorang rawi dari sahabat bahwa salah satu dari dua hukum tentang sebuah permasalahan lebih didahulukan dari pada hukum yang lainnya, karena tidak memiliki peluang untuk melakukan ijtihad dalam masalah tersebut.

f. Keberadaan salah satu hukum dari dua buah hukum merupakan hukum syariat, sedangkan hukum yang lainnya lebih mirip atau cocok dengan adat pada zaman dahulu. Maka hukum syariat men-nasikh-kan adat tersebut



















BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

nasikh adalah menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang kemudian, sedangkan mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan oleh hukum yang datang kemudian itu. Sebagaimana yang bisa kita lihat dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 106:

Artinya : ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Al Baqoroh : 106)

Syarat –syarat nasikh mansukh:

a. Dalil nasikh harus terpisah dengan dalil mansukhnya.

b. Dalil nasikh harus lebih kuat atau sama kuat daripada dalil yang mansukh. Jadi dalil Al-Qur’an hanya bisa dimansukh oleh dalil Al-Qur’an atau dalil hadis mutawatir, karena kedudukan dalil Al-Qur’an dan hadis mutawwatir adalah sama-sama qath’i.

c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.

d. Yang dimansukh harus hukum syara’, sedangkan nasikhnya juga harus berupa dalil-dalil syara’.

e. Ketentuan hukum yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu, sebab bila dibatasi oleh waktu maka berarti dengan habisnya ketentuan waktu otomatis habis pula ketentuan hukumnya.











DAFTAR PUSTAKA



AMIRUDDIN, ZEN.2009. “Ushul Fiqih”. Yogyakarta: Teras

ANWAR, ROSIBON.2008. “Ulumul Qur’an”. Bandung: .

FORUM KARYA ILMIAH PURNA SISWA 2011.2011.”Al-Qur’an Kita”.Kediri: Lirboyo Press

HAMID ABU ZAID, NASR.2005. “Tekstualitas Al-Qur’an”. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara

USMAN.2009.”Ulumul Qur’an”.Yogyakarta: Teras

WIJAYA, AKSIN.2009. “Arah Baru Study Ulumul qur’an”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar








[1] Rosibon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung, hlm. 172
[2] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta, hlm. 161
[3] Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta, hlm. 255
[4] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta, hlm. 162
[5] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta, hlm. 163
[6] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih,yogyakarta, hlm. 164
[7] Rosibon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung, hlm. 180
[8] Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Al-Quran Kita, Kediri, hlm. 180
Read More..

MAQAM WARA’, ZUHUD, DAN FAQR

Posted by ifmarx 0 komentar
MAKALAH

MAQAM WARA’, ZUHUD, DAN FAQR

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu:

Ahmad Sauqi, M.Ag, M.Pd.I








Disusun Oleh:



Arwani Ilyas (2832133006)

Fatimatuz Zahro (2832133011)



USHULUDDIN / AQIDAH FILSAFAT

SEMESTER I



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) TULUNGAGUNG 2013



KATA PENGANTAR



Alkhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Maqam Wara’, Zuhud, dan Faqr” sebagai tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW , beserta keluarga , sahabat , kerabat , dan pengikut-pengikut beliau hingga akhir zaman.

Dalam makalah ini, kami menguraikan tentang pengertian dan pengklasifikasian maqam tersebut. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang selama ini kita cari. Berbagai cara kami kemas dalam makalah ini, dan juga kami berharap bisa dimafaatkan semaksimal mugkin.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ibu dosen serta pihak lain yang telah membantu sehingga terselesaikannya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua. Amin

Tak ada kebenaran mutlak dalam hidup ini melainkan hanya sang pencipta semata, demikian pula dengan makalah ini tentu masih banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.



Tulungagung, 01 November 2013





Penulis









BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Tasawuf merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.

Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, buakan melalui dalil. Para sufi mengatakan hal itu sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Apalagipengalaman tasawuf ini juga merupakan karunia dari Tuhan setelah seseorang menempuh penyucian rohani itu melalui latihan fisik-psikis yang berat.

Tasawuf juga mempunyai maqam. Maqamat dalam bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya, arti ini dipakai untuk arti jalan panjang secara berjenjang yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Sebenarnya ada banyak maqamat tasawuf, namun kali ini kami akan memaparkan mengenai Wara’, Zuhud, dan Faqr.



B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian wara’?

2. Bagaimana pengklasifikasian maqam wara’?

3. Apa pengertian zuhud?

4. Bagaimana tingkatan dalam zuhud?

5. Apa pengertian faqr?

6. Bagaimana pengklasifikasian maqam faqr?



C. Tujuan

1. Untuk mengetahui penertian wara’

2. Untuk mengetahui klasifikasi maqam wara’

3. Untuk mengetahui pengertian zuhud

4. Untuk mengetahui klasifikasi maqam zuhud

5. Untuk mengetahui pengertian faqr

6. Untuk mengetahui klasifikasi maqam faqr



























































BAB II

PEMBAHASAN



A. Wara’

1. Pengertian Wara’

Secara literal (bahasa) wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa serta menahnnya dari hal-hal syubhat (tidak jelashalal haramnya) dan maksiat. Sedang menurut terminologi, wara’ adalah menjauhi perkara syubhat.[1]

Wara’ adalah maqam yang sangat mulia dan luhur. Seacara tidak langsung makna wara’ telah tersirat dalam Al-Qur’an. Diantaranya terdapat dalam surat An-Nur ayat 15:



øŒÎ) ¼çmtRöq¤)n=s? ö/ä3ÏGoYÅ¡ø9r'Î/ tbqä9qà)s?ur /ä3Ïd#uqøùr'Î/ $¨B }§øŠs9 Nä3s9 ¾ÏmÎ/ Ò

Où=Ïæ ¼çmtRqç7|¡øtrBur $YYÍh‹yd uqèdur y‰YÏã «!$# ×LìÏàtã ÇÊÎÈ



“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut dan kamu katakana dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”

Bahkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh dahabat Anas, Nabi mencontohkan sendiri bagaimana perilaku orang yang wira’i:



وعن أنس رضي الله عنه : أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم وَجَدَ تَمرَةً

فِي الطَّرِيقِ، فقال : لَولاَ أنيِّ أخَافُ أن تَكُونَ مِنَ الصَّدَقَة لأكلتُهَا

(متفقٌ عليه).



“Nabi menemukan kurma di jalan. Kemudian, beliau berkata, “Andai saja aku tidak khawatir bahwa kurama ini merupakan bagian dari zakat, pasti aku akan menemukannya.” (H.R. Bukhariy, Muslim)

Wara’ merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga kesucian jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara syubhat apalagi sampai perkara yang bersifat haram. Sehingga ketika seorang salik memang benar-benar berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi larangan Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan benteng sifat wara’, niscaya sifat yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian yang luhur yang mendarah daging. Sampai anggota tubuhnya pun akan bisa menjadi benteng yang tangguh bagi dirinya untuk menjaga jernih, segala ucapan, tingkah laku, ide dan kreativitasnya mengandung hikmah dan manfaat untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.

Semuanya bisa terbukti dari berbagai riwayat yang diambil dari kaum sufi. Sebagai contoh Syekh Bisyr Al-Hafiy ketika beliau diundang dalam jamuan makan. Saat beliau diberi hidangan tersebut namun tidak pernah berhasil. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai tiga kali. Lalu berkatalah seorang laki-laki yang mengenalnya, “Tangannya tidak akan bisa diulurkan untuk mengambil makanan yang haram atau syubhat. Sehingga, percuma saja tuan rumah ini mengundang beliau ke rumahnya.”[2]

2. Klasifikasi Wara’

Menurut Imam As-Sarraj, ahli wara’ diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan:[3]

a. Golongan yang memiliki sifat wara’ dalam menjauhi perkara syubhat, yaitu sifat diantara halal dan haram yang sudah bersifat mutlak kejelasannya. Artinya, apapun yang dikonsumsi seorang hamba hanyalah perkara yang sudah jelas kehalalannya dan tidak menyentuh sama sekali perkara yang haram murni. Tingkatan ini sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Sirin, “Tak ada sesuatu yang lebih mudah bagiku kecuali tingkatan wara’ ini ketika ada sesuatu yang meragukanku.”

b. Wara’nya Arbab Al-qulub (golongan yang memiliki hati yang bersih) dan mutahakqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat), yaitu menjauhi segala hal yang bersumber dari hati yang berpotensi membuat hati menjadi gelisah dan bergejolak ketika mengambil perkara yang syubhat. Artinya, bukan hanya berhubungan tentang kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang memang sudah diketahui kejelasan sifat halalnya, tapi sesuatu tersebut bisa menimbulkan keraguan dalam hati, maka perkara yang halal pun harus dia jauhi. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Dosa adalah segala seusatu yang mengganjal dalam hatimu.”

c. Wara’nya ‘Arifiin (ahli makrifat) dan Wajidiin (golongan yang mencintai dan meraskan menemukan Allah). Ini diungkapkan Abu Sulaiman Addarani, “Segala hal yang bisa memalingkan dari Allah merupakan kejelekan dan kesialan bagimu.” Kedudukan ini mengindikasikan bahwa segala macam apapun, meskipun perkara yang halal murni, bila memiliki potensi untuk bisa memalingkan dari Allah, tetap harus dijauhi.

Dari tiga tingkatan yang telah dipaparkan di atas, kedudukan merupakan wara’ yang umum. Yang kedua, orang yang khusus. Sedang yang ketiga adalah khusus al-khusus (istimewa).

B. Zuhud

1. Pengertian Zuhud

Zuhud secara literal adalah meninggalkan , tidak tertarik, dan tidak menyukai sesuatu. Sedang menurut terminologi sufi, zuhud adalah kemampuan hati menahan keinginan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki.[4]

Menurut Al-Junaid Al-Baghdadi, “Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa dan hati kosong dari cita-cita”.[5]Al-Ghazaliy membahasakan zuhud sebagai ungkapan atas ketidaksukaan pada segala hal yang termasuk dalam bagian nafsu. Ketika seseorang membenci segala hal yang diinginkan nafsu, ia juga akan membenci hidup kekal di dunia dan secara otomatis ia pun tidak akan memiliki sifat panjang angan-angan pada dunia ini. Hal ini disebabkan kehidupan kekal di dunia yang diinginkan oleh nafsu tujuannya hanyalah untuk bersenang-senang atas dunia tersebut. Sehingga, ketika ia telah membenci dunia, maka ia tidak akan menginginkannya.[6]

Zuhud disebut dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat. Diantaranya Q.S. Al-Hadid:20

(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4qu‹ysø9$# $u‹÷R‘‰9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎ—ur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur ’Îû ÉAºuqøBF{$# ω»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]ø‹xî |=yfôãr& u‘$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßk‹Íku‰ çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( ’Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#x‹tã Ó‰ƒÏ‰x© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍ‘ur 4 $tBur äo4qu‹ysø9$# !$u‹÷R‘$!$# žwÎ) ßì»tFtB Í‘rãäóø9$# ÇËÉÈ



“Ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian, menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Zuhud yang bersumber dari Rasulullah yang diajarkan dan dicontohkan oleh beliau secara langsung kemudian diikuti oleh para sahabat sudah menjadi karakter dan sifat yang melekat dalam hati serta sudah mendarah daging sehingga sangat sulit diadopsi umat islam yang hidup setelah masa sahabat. Sampai-sampai sahabat pernah mengungkapkan pernyataan pada golongan awal tabi’in, “Bahwa memang benar jika para tabi’in lebih banyak amal dan kesungguhannya dalam beribadah dibanding para sahabat, tapi dengan sifat zuhud yang dimiliki para sahabat, menjadikan mereka tetap lebih baik daripada para tabi’in.

Yang dikehendaki dari hakikat zuhud adalah tidak memiliki ketergantungan atau keterikatan hati dengan harta dunia. Bukan diartikan dengan tidak memiliki harta sama sekali. Sebagaimana kepribadian Nabi Sulaiman. Kekayaan dan kemegahan kerajaan yang dimilikinya tidak sampai mengeluarkannya dari sifat zuhud, bahkan Nabi Sulaiman mendapatkan status Azahad Az-Zahidin (orang yang paling zuhud diantara golongan ahli zuhud).

2. Tingkatan Zuhud

Sebagaimana maqam-maqam sebelumnya, zuhud juga memiliki tingakatan. Menurut imam Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy zuhud terbagi menjadi 3 tingkatan:[7]

a. Al-Mubtadiin (tingkat pemula), yaitu orang yang kosong tangan dan hatinya dari harta kepemilikan.

b. Al-Mutahaqqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat pada Allah).

c. Golongan yang mengetahui dan meyakini bahwa jikalau dunia diberikan pada mereka dengan status kepemilikan yang halal, dijanjikan pula ketiadaan hisab di akhirat atas status kepemilikan tersebut.

Selanjutnya orang yang zuhud memiliki beberapa tanda. Imam Al-Ghazaliy memberi 3 tanda atas sifat zuhud ditinjau dari sisi batin.[8]

a. Tidak merasa bahagia dengan wujudnya harta dan tidak merasa susah atas ketiadaan harta tersebut.

b. Tidak ada beda baginya antara orang yang mencela dan memuji.

c. Hatinya merasa tenang hanya jika tertuju kepada Allah dan yang mendominasi dalam hatinya adalah manisnya taat.

Karakter dasar manusia secara umum adalah memiliki rasa cinta. Cinta yang tertanam dalam hati ada kalanya cinta kepada Allah dan cinta pada dunia, yaitu semua hal yang berpotensi bisa memalingkan hati jauh dari-Nya. Dengan demikian, untuk menuntaskan sifat zuhud, seseorang harusdikuasai rasa cinta pada Allah supaya tidak ada ruang lagi dalam hatinya untuk cinta dunia. Maka ketika seseorang sudah memiliki rasa cinta dan merasa tenang atas zatnya Allah, ia akan selalu tersibukkan dengan-Nya dan meninggalkan yang lain (dunia).

C. Faqr

1. Pengertian Faqr

Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Sedang menurut terminologi tasawuf, fakir adalah suatu keadaan dimana hati tidak butuh kecuali kepada Allah.[9]

Makna fakir dalam Al-Qur’an tersirat dalam beberapa firman Allah, diantaranya surat Al-Fathir:15

$pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ÞOçFRr& âä!#ts)àÿø9$# ’n<Î) «!$# ( ª!$#ur uqèd ÓÍ_tóø9$# ߉‹ÏJysø9$# ÇÊÎÈ

“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah. Dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”

Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada hidup bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan kehidupan mewah sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadis yang menjelaskan keutamaan faqr adalah hadis yang merupakan doa Rasulullah ini:

عن أبي سعيد: اللهمّ أحيني مسكينا وتوفّني مسكينا واحشرني في زمرت المساكين. وإنّ أشقى ألأشقياء من اجتمع عليه فقرالدنيا وعذاب الآخرة

. (رواه حاكم)

“Ya Allah, berilah aku hidup dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan miskin. Dan kumpulkanlah aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya orang yang celaka adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.” (H.R. Al-Hakim)

Mayoritas para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah dan keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua makhluk yang ada pada fuqara (orang-orang yang fakir). Sampai-sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup dan tidak mengusai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi umatnya dalam sifat fakir.

2. Klasifikasi Faqr

Selanjutnya menurut Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy derajat fuqara diklasifikasikan menjadi 3:[10]

a. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara lahir batin memang tidak meminta dan menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi, ia tidak mau mengambil. Strata ini adalah maqam muqarrabin.

b. Golongan yang tidak memiliki sesuatu, tidak meminta, menginginkan, atau memohon pada siapapun. Ketika diberi tanpa meminta, ia menerima. Ini adalah maqam Al-siddiqin.

c. Golongan yang tidak memiliki sesuatu dan ketika membutuhkan ia mengutarakan keinginannya pada sebagian saudaranya yang ia ketahui bahwa saudaranya akan senang dengan ungkapan pengaduannya tersebut. Maka, sesungguhnya memecahkan permasalahannya merupakan nilai shadaqah.







BAB III

KESIMPULAN



Perjalana spiritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifat tersebut kadang-kadang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Sebagian orang yang menekuni dunia kema’rifatan ia meninggalkan hal yang diragukan halalnya karena khawatir terjerumus kedalam dosa. Ia meninggalkan hal yang bersifat subhat karena khawatir terjerumus kedalam maksiat. Itulah sifat wara’, penghati-hati, sifat yang positif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan dosa terhadap hal yang diragukan halal-haramnya.

Sebagian gejala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap dunia, tidak terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang mengganggu ibadahnya ia singkiri, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan berarti “nyingkor kadonyan”, menjauhi dunia, hidup menderita. Bukan! Zuhud berarti “hidup prihatin” mengabdi Tuhan. Pola cara hidupnya sederhana, demi Ar-Rahman.

Gejala orang yang ma’rifat juga termasuk faqr,. Tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.



























DAFTAR PUSTAKA



HAG. Tamami, 2011, Psikologi Tasawuf, Bandung: PUSTAKA SETIA

Seils, A. Michael, 2004, Terbakar Cinta Tuhan, Bandung: Mizan

Siswa, Purna, 2011, Jejak Sufi, Kediri: Lirboyo Press

Smith, Margaret, 2001,Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, Surabaya: Risalah Gusti






[1]Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), h. 68


[2]Ibid, h. 69


[3]Ibid, h. 70


[4]Michael A. Seils, Terbakar Cinta Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), h. 266


[5]Tamami HAG., Psikologi Tasawuf,(Bandung:Pustaka Setia,2011) h. 172


[6] Purna Siswa, Jejak Tasawuf…, hlm. 71


[7]Michael A. Seils, Terbakar…, hlm. 266


[8]Purna Siswa, Jejak…, hlm. 75


[9]Ibid, hlm. 76


[10]Ibid, hlm. 77
Read More..

Total Tayangan Halaman